Nach Genre filtern

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756AM

Menebar Cahaya Sunnah

4043 - Mengajari dengan Memberikan Contoh
0:00 / 0:00
1x
  • 4043 - Mengajari dengan Memberikan Contoh

    Mengajari dengan Memberikan Contoh ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.







    Kajian Tentang Mengajari dengan Memberikan Contoh



    Kali ini kita akan mempelajari fiqih pendidikan anak dalam serial nomor 201, dengan tema “Mengajari dengan Memberikan Contoh”. Salah satu kewajiban orang tua adalah mendidik anak. Namun, apakah cukup dengan ucapan, atau perlu disertai contoh langsung? Hal ini tergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah usia anak.



    Mengajari anak SMA tentu berbeda dengan mengajari anak TK, sebab tingkat pemahaman mereka pun berbeda. Misalnya, anak TK mungkin kesulitan merangkai atau membuat prakarya, sementara anak SMA sudah memiliki keterampilan yang lebih baik. Contohnya, seorang anak TK mungkin belum bisa memegang gunting dengan benar, sementara anak SMA atau mahasiswa sudah memahami cara kerja alat-alat yang lebih kompleks.



    Faktor lainnya adalah kompleksitas tugas yang diberikan. Seberapa rumit tugas tersebut menentukan apakah anak memerlukan contoh langsung atau cukup dengan instruksi lisan. Misalnya, memasak nasi goreng melibatkan tahapan-tahapan yang lebih rumit dibandingkan dengan tugas sederhana seperti menggantungkan baju.



    Selain itu, pengalaman anak dalam aktivitas tertentu juga perlu diperhitungkan. Anak yang memiliki pengalaman dalam melakukan suatu kegiatan tentunya akan lebih mudah mengikuti instruksi dibandingkan dengan anak yang belum pernah melakukannya.



    Misalnya, ada seorang anak yang tinggal di desa dan ayahnya memiliki 50 ekor kambing. Setiap hari, sang ayah mencari rumput dengan ditemani anaknya, yang juga ikut membantu. Pengalaman anak seperti ini jelas berbeda dengan anak yang tinggal di kota dan hanya melihat kambing di televisi. Anak yang tidak terbiasa akan kebingungan ketika disuruh mencari rumput, mungkin malah mencabut rumput sembarangan tanpa memahami apa yang dibutuhkan.



    Tingkat pengalaman sangat memengaruhi pemahaman anak dalam melakukan suatu tugas. Maka, tidak bisa disamakan antara anak yang sudah sering terlibat dalam kegiatan tertentu dengan anak yang belum pernah melakukannya. Hal ini juga diperhatikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat mengajari anak-anak. Beliau memperhatikan usia, kompleksitas tugas, dan pengalaman anak.



    Contohnya, terdapat sebuah kisah dari seorang sahabat yang dikenal sebagai Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu. Abu Said menceritakan,



    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.



    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak,
    Tue, 12 Nov 2024 - 45min
  • 4042 - Masalah Seputar Shalat Berjamaah

    Masalah Seputar Shalat Berjamaah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.







    Download kajian sebelumnya: Hukum Bershaf di Antara Tiang di Tempat Shalat



    Kajian Tentang Masalah Seputar Shalat Berjamaah



    Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Pembahasan ini hanya akan mencakup sebagian dari banyak masalah yang terkait dengan shalat berjamaah. Pertama, kita akan membahas tentang sutrah (pembatas yang diletakkan di depan seseorang ketika sedang shalat sebagai batas dari tempat sujudnya).



    Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang sutrah ini. Apakah sutrah itu wajib, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, ataukah sutrah hanya sunnah muakkadah, sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama? Dalam pembahasan itu, kita menguatkan pendapat mayoritas ulama bahwa sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkadah, bukan wajib, tetapi sangat dianjurkan, hampir mendekati derajat wajib.



    Lihat pembahasan: Sunnah-Sunnah Fi’liyah dalam Shalat



    Hal yang dibahas kali ini adalah bahwa sutrah dari imam juga menjadi sutrah bagi makmumnya. Artinya, jika imam sudah menghadap ke sutrah, maka makmum tidak perlu lagi menggunakan sutrah karena sutrah imam sudah mencukupi bagi makmumnya.



    Bagaimana jika ada orang yang berjalan di depan makmum? Apakah makmum harus menghadangnya? Jawabannya, tidak perlu. Orang tersebut boleh berjalan di depan makmum yang shalat di belakang imam, tetapi tidak boleh berjalan di depan imam sampai batas sutrah imam. Jika orang tersebut berjalan di luar batas sutrah imam, maka hal itu dibolehkan.



    Di sini ada hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan,



    أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَي بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيَّ أَحَدٌ



    “Aku datang menunggangi seekor keledai, sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat bersama orang-orang di Mina tanpa menghadap dinding (sutrah). Aku pun melewati di depan sebagian shaf makmum, kemudian turun dari keledai dan melepaskannya untuk makan rumput. Lalu, aku masuk ke dalam shaf, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku.” (HR. Bukhari dan Muslim)



    Kisah ini menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan. Jika hal itu tidak dibolehkan, tentu ada yang mengingkarinya, mengingat para sahabat yang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa Haji Wada’ itu sangat banyak. Sebab, saat itu adalah haji pertama dan terakhir bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga banyak sahabat yang bersemangat berhaji bersama beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami manusia di Mina, dan sangat mungkin yang shalat bersama beliau saat itu jumlahnya banyak sekali. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkari tindakan Ibnu Abbas yang menaiki kele...
    Mon, 11 Nov 2024 - 1h 09min
  • 4041 - Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi

    Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 5 Jumadil Awal 1446 H / 7 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Dorongan Imam Muslim Menyusun Kitab Shahih







    Kajian Islam Tentang Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi



    Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas kewajiban dan tanggung jawab seorang mukmin untuk meriwayatkan hadits yang shahih. Imam Muslim, prihatin dengan tersebarnya hadits-hadits yang tidak shahih di tengah masyarakat awam, sehingga akhirnya berjuang menyebarkan hadits-hadits shahih di masyarakat sebagai tanggapan atas fenomena tersebut.



    Pada kesempatan ini, kita akan membahas باب تغليظ الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم (peringatan tegas dari Imam Muslim terkait larangan berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Berdusta merupakan dosa besar, bahkan menjadi salah satu ciri kemunafikan. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan dalam Syarah hadits  أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا, bahwa ada empat sifat yang menunjukkan kemunafikan. Jika seseorang memiliki keempat sifat itu, maka ia termasuk munafik sejati. Namun, jika hanya memiliki sebagian, maka ia memiliki sifat kemunafikan sesuai kadar sifat tersebut.



    Oleh karena itu, sifat kemunafikan, termasuk berdusta, dapat menjangkiti seorang mukmin, terutama ketika keimanannya sedang menurun. Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya Al-Kabair (Kumpulan Dosa-Dosa Besar) mengategorikan berdusta sebagai dosa besar, dan dalilnya sangat banyak. Namun, berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dosa yang lebih parah dibandingkan berdusta dalam percakapan biasa. Dosa ini menjadi lebih besar ketika seseorang mengatasnamakan Nabi pada sesuatu yang beliau tidak katakan.



    Apalagi, Imam Muslim rahimahullah dalam Mukadimahnya menyebutkan hadits dari lima orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan, sahabat pertama, Imam Muslim sampai menyebutkan dengan dua jalur. Dan pada hakikatnya, hadits ini diriwayatkan setidaknya tidak kurang 60 sahabat (dikenal dengan hadits mutawatir), sehingga keotentikannya tidak perlu diragukan. Imam Muslim menyebutkan dengan sanad yang jelas dari guru-gurunya tentang peringatan yang beliau tegaskan terhadap siapa saja yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dengan niat baik.



    Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam mukadimah kitabnya bahwa ia memiliki prinsip yang tegas dalam memilih hadits untuk dimasukkan dalam Shahih Muslim. Beliau menyatakan bahwa hanya akan meriwayatkan dari perawi yang terpercaya dalam agama, kuat hafalannya, dan minim kesalahan. Imam Muslim menghindari periwayatan dari perawi yang hafalannya lemah atau yang sering melakukan kesalahan, sebab beliau mengutamakan keabsahan riwayat dalam Shahih Muslim.



    Adapun dalam mukadimah kitabnya, yang ditulis di belakang, setelah bagian utama Shahih Muslim, beliau kadang meriwayatkan hadits yang diperbincangkan atau yang tidak mencapai derajat shahih. Misalnya,
    Mon, 11 Nov 2024 - 1h 19min
  • 4040 - Aqidah Yang Benar

    Aqidah Yang Benar adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 4 Jumadil Awal 1446 H / 6 November 2024 M.







    Kajian Islam Tentang Aqidah Yang Benar



    Kajian kita sampai pada perkataan beliau, “Ketahuilah—semoga Allah merahmatimu.” Doa seperti ini sering digunakan para ulama dalam tulisan mereka, dengan harapan agar Allah senantiasa merahmati orang yang membaca karya-karya mereka. Dalam ceramah, kita juga sering menyapa kaum muslimin dengan ungkapan, “rahimani wa rahimakumullah,” karena kita semua sangat membutuhkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.



    Imam Al-Barbahari berkata bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah.” Pada awal kajian kitab ini, kita telah menjelaskan bahwa istilah Syarhus Sunnah di sini merujuk pada aqidah. Banyak kitab-kitab yang diberi judul As-Sunnah atau Syarhus Sunnah, yang maksudnya adalah pembahasan mengenai aqidah, karena aqidah adalah pokok penting dalam agama Islam.



    Maka maksud dari ucapan Imam Al-Barbahari bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah” adalah bahwa dalam hal aqidah, tidak diperbolehkan menggunakan analogi atau qiyas. Hal ini berbeda dengan hukum fiqih, di mana qiyas dan ijma’ diperbolehkan. Adapun, dalam aqidah, kita hanya mengambil rujukan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena kebanyakan perkara aqidah adalah perkara yang ghaib, tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk. Semua ini harus kita ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.



    Sumber aqidah hanya dua, yaitu Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah penyimpangan dan kesesatan.



    …فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ…



    “Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (QS. Yunus[10]: 32)



    Maka, dalam perkara aqidah, tidak ada qiyas.



    Tidak Boleh Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama



    Kemudian beliau Rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan agama ini.”



    Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,



    لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ



    “Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat: Hadits Arbain Ke 41 – Kesempurnaan Iman)



    Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:



    فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ …



    “Jika mereka tidak menjawab seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan meninggalkan petunjuk dari Allah?” (QS. Al-Qashash [28]: 50)



    Maka, kita wajib tunduk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
    Thu, 07 Nov 2024 - 1h 17min
  • 4039 - Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja

    Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 3 Jumadil Awal 1446 H / 5 November 2024 M.







    Kajian Tentang Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja



    Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan manusia kelebihan dibandingkan makhluk lain, salah satunya adalah kemampuan berbicara. Bicara adalah nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita, maka kita tidak boleh puasa bicara. Demikian pula, Allah membekali manusia dengan dua telinga untuk menyimak ilmu. Kedua indera ini, yaitu mulut untuk berbicara dan telinga untuk mendengar, sangat vital dalam kehidupan manusia.



    Berbicara dan mendengar adalah kebutuhan manusia dalam hidupnya. Sebelumnya, sudah disampaikan bahwa mendengar merupakan sarana penting dalam meraih ilmu. Kita bisa memperoleh pengetahuan dengan menyimak dan mendengar. Dalam sejarah, banyak ulama besar yang memiliki keterbatasan penglihatan, namun mampu unggul dalam ilmu karena mereka menuntut ilmu dengan mengandalkan pendengaran. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendengaran yang baik, manusia tetap dapat mencapai keunggulan dalam ilmu meskipun memiliki keterbatasan fisik.



    Penting bagi kita untuk menumbuhkan lingkungan pendidikan yang positif, terutama di rumah. Lingkungan yang positif membantu remaja merasa nyaman mengungkapkan perasaan mereka, sehingga dapat berdiskusi dengan orang tua. Dan orang tua dapat merespons dengan baik, hal-hal yang mungkin dianggap salah atau kurang tepat pada diri mereka dapat diluruskan melalui komunikasi dua arah. Lingkungan yang hanya dipenuhi dengan perintah dan larangan, tanpa ruang untuk berdialog, sebenarnya kurang baik bagi perkembangan remaja. Di masa remaja, akal dan pemikiran mereka tengah berkembang, sehingga perlu diberikan kesempatan untuk berekspresi dan mengungkapkan apa yang mereka rasakan.



    Orang tua juga perlu mendengar, agar mereka lebih memahami apa yang terjadi dalam diri anak-anak mereka. Bagi manusia pada umumnya, dan remaja khususnya, dibutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri. Tanpa ruang tersebut, seseorang mungkin akan mencari jalan sendiri yang mungkin tidak tepat.



    Ada sebuah kisah yang menggambarkan pentingnya memberi ruang kepada mereka yang ingin berubah. Dikisahkan ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Ia mendatangi seorang ahli ibadah (rahib) dan berkata bahwa ia telah melakukan dosa besar dan ingin bertaubat. Ketika ahli ibadah itu mendengar pengakuannya, ia berkata, “Tidak ada peluang bagimu untuk bertaubat; dosamu sangat berat.” Pria tersebut tidak diberikan kesempatan untuk bertobat, sehingga dalam keputusasaannya, ia pun membunuh ahli ibadah itu. Maka genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya.



    Kemudian, pria ini mencari orang yang dapat membimbingnya dalam bertaubat dan bertemu dengan seorang ahli ilmu. Ia mengajukan pertanyaan yang sama, “Adakah kesempatan bagiku untuk bertaubat?” Ahli ilmu ini, dengan pengetahuannya, memahami bahwa pria ini membutuhkan ruang untuk melepaskan diri dari kesalahannya. Maka, ahli ilmu itu berkata, “Apa yang menghalangimu untuk bertaubat? Bertaubatlah.” Meski pria ini telah membunuh 100 orang, ahli ilmu tersebut tetap memberinya ruang untuk kembali ke jalan yang benar.



    Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah bahwa setiap manusia membutuhkan ruang, jangan dipersempit. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pe...
    Wed, 06 Nov 2024 - 52min
Weitere Folgen anzeigen