Filtrar por género
4045 - Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun
0:00 / 0:00
1x
- 4045 - Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun
Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 10 Jumadil Awal 1446 H / 12 November 2024 M.
Kajian sebelumnya: Larangan Tathayyur
Kajian Tentang Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun
Pembahasan kita masih mengenai larangan-larangan dalam Islam, saat ini sampai pada larangan memelihara anjing, kecuali untuk seperti berburu, menjaga ternak atau kebun. Adapun memelihara anjing hanya untuk hobi atau sekadar sebagai peliharaan di rumah atau pekarangan tanpa alasan yang dibenarkan adalah sesuatu yang dilarang.
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إلاَّ كَلْبَ صَيْدٍ أوْ مَاشِيَةٍ فَإنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أجْرِهِ كُلَّ يَومٍ قِيرَاطَانِ
‘Barangsiapa yang mengambil anjing sebagai peliharaannya, kecuali anjing untuk berburu atau menjaga ternak, maka pahalanya akan berkurang setiap harinya sebanyak dua qirath (gunung besar).’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam satu riwayat disebutkan: “Berkurang satu qirath.”
Larangan Memelihara Anjing dalam Islam
Maksud dari hadits ini yaitu seseorang memelihara anjing tanpa kepentingan atau memperjualbelikannya, ini termasuk dalam hal yang dilarang dalam Islam. Adapun yang dimaksud ماشية adalah binatang ternak (sapi, kambing, atau unta). Pemilik ternak seperti kambing, sapi, atau unta mungkin perlu menjaga hewan-hewannya dari ancaman binatang buas, seperti serigala, yang bisa memangsa hewan ternak. Dalam situasi seperti ini, Islam memperbolehkan penggunaan anjing untuk menjaga binatang ternak demi keamanan mereka.
Begitu pula, jika seseorang memiliki kebun dengan tanaman yang bermanfaat, seperti di luar kota, ia boleh memelihara anjing untuk menjaga tanamannya dari binatang perusak seperti babi hutan yang kerap datang di malam hari dan merusak tanaman. Memiliki anjing penjaga di kebun dalam hal ini juga diperbolehkan.
Selain itu, memelihara anjing untuk berburu juga dibolehkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ أمْسَكَ كَلْبًا، فَإنَّهُ ينْقُصُ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَومٍ قِيرَاطٌ إلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ أوْ مَاشِيَةٍ
“Barangsiapa yang memelihara anjing, maka akan berkurang pahala amal kebaikannya setiap hari satu qirath (gunung besar), kecuali anjing yang digunakan untuk pertanian (menjaga ladang) atau untuk menjaga ternak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam satu redaksi dari Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ، وَلاَ مَاشِيَةٍ وَلاَ أرْضٍ، فَإنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ
“Barangsiapa memelihara anjing yang bukan untuk berburu, bukan pula untuk menjaga ternak dan tidak untuk menjaga ladangnya, maka berkuranglah pahalanya setiap hari sebanyak dua qirath (gunung besa...Wed, 13 Nov 2024 - 1h 14min - 4044 - Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah
Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.
Kajian sebelumnya: Bahaya Nafsu Bagi Pemiliknya
Kajian Tentang Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah
Kita masih membahas kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam. Pada kesempatan sebelumnya, kita telah sampai pada halaman ke-346, yang membahas tentang kekuasaan. Di sini, penulis rahimahullah menyampaikan beberapa ayat dari Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kekuasaan sepenuhnya dari Allah. Allah-lah yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Dia kehendaki.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran:
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Wahai Rabb yang memiliki kerajaan/kekuasaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'” (QS. Ali Imran [3]: 26).
Ayat lainnya dalam Surah Al-Baqarah juga menegaskan hal serupa:
…وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ…
“Dan Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah [2]: 247).
Kemudian, Allah menjelaskan tentang kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Daud ‘Alaihis Salam. Firman-Nya:
…وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ…
“Dan Allah telah memberikannya kerajaan” (QS. Al-Baqarah [2]: 251)
Kemudian, Allah juga menyebutkan tentang Raja Namrud yang diberi kekuasaan dan kerajaan. Dalam Surah Al-Baqarah, Allah berfirman:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ…
“Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya, karena Allah telah memberinya kekuasaan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 258)
Jadi, Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada Namrud, dan Allah juga yang membinasakan Namrud. Selanjutnya, Allah berfirman dalam Surah An-Nisa tentang keluarga Nabi Ibrahim:
…فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا
“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada keluarga Ibrahim Kitab dan hikmah, serta Kami anugerahkan kepada mereka kerajaan yang besar.” (QS. An-Nisa [4]: 54)
Allah juga menyebutkan dalam Surah Al-Maidah tentang Nabi Musa yang mengingatkan kaumnya akan kedudukan mereka:
وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا…
Wed, 13 Nov 2024 - 1h 03min - 4043 - Mengajari dengan Memberikan Contoh
Mengajari dengan Memberikan Contoh ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.
Kajian Tentang Mengajari dengan Memberikan Contoh
Kali ini kita akan mempelajari fiqih pendidikan anak dalam serial nomor 201, dengan tema “Mengajari dengan Memberikan Contoh”. Salah satu kewajiban orang tua adalah mendidik anak. Namun, apakah cukup dengan ucapan, atau perlu disertai contoh langsung? Hal ini tergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah usia anak.
Mengajari anak SMA tentu berbeda dengan mengajari anak TK, sebab tingkat pemahaman mereka pun berbeda. Misalnya, anak TK mungkin kesulitan merangkai atau membuat prakarya, sementara anak SMA sudah memiliki keterampilan yang lebih baik. Contohnya, seorang anak TK mungkin belum bisa memegang gunting dengan benar, sementara anak SMA atau mahasiswa sudah memahami cara kerja alat-alat yang lebih kompleks.
Faktor lainnya adalah kompleksitas tugas yang diberikan. Seberapa rumit tugas tersebut menentukan apakah anak memerlukan contoh langsung atau cukup dengan instruksi lisan. Misalnya, memasak nasi goreng melibatkan tahapan-tahapan yang lebih rumit dibandingkan dengan tugas sederhana seperti menggantungkan baju.
Selain itu, pengalaman anak dalam aktivitas tertentu juga perlu diperhitungkan. Anak yang memiliki pengalaman dalam melakukan suatu kegiatan tentunya akan lebih mudah mengikuti instruksi dibandingkan dengan anak yang belum pernah melakukannya.
Misalnya, ada seorang anak yang tinggal di desa dan ayahnya memiliki 50 ekor kambing. Setiap hari, sang ayah mencari rumput dengan ditemani anaknya, yang juga ikut membantu. Pengalaman anak seperti ini jelas berbeda dengan anak yang tinggal di kota dan hanya melihat kambing di televisi. Anak yang tidak terbiasa akan kebingungan ketika disuruh mencari rumput, mungkin malah mencabut rumput sembarangan tanpa memahami apa yang dibutuhkan.
Tingkat pengalaman sangat memengaruhi pemahaman anak dalam melakukan suatu tugas. Maka, tidak bisa disamakan antara anak yang sudah sering terlibat dalam kegiatan tertentu dengan anak yang belum pernah melakukannya. Hal ini juga diperhatikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat mengajari anak-anak. Beliau memperhatikan usia, kompleksitas tugas, dan pengalaman anak.
Contohnya, terdapat sebuah kisah dari seorang sahabat yang dikenal sebagai Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu. Abu Said menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَنَحَّ، حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak,Tue, 12 Nov 2024 - 45min - 4042 - Masalah Seputar Shalat Berjamaah
Masalah Seputar Shalat Berjamaah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.
Download kajian sebelumnya: Hukum Bershaf di Antara Tiang di Tempat Shalat
Kajian Tentang Masalah Seputar Shalat Berjamaah
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Pembahasan ini hanya akan mencakup sebagian dari banyak masalah yang terkait dengan shalat berjamaah. Pertama, kita akan membahas tentang sutrah (pembatas yang diletakkan di depan seseorang ketika sedang shalat sebagai batas dari tempat sujudnya).
Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang sutrah ini. Apakah sutrah itu wajib, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, ataukah sutrah hanya sunnah muakkadah, sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama? Dalam pembahasan itu, kita menguatkan pendapat mayoritas ulama bahwa sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkadah, bukan wajib, tetapi sangat dianjurkan, hampir mendekati derajat wajib.
Lihat pembahasan: Sunnah-Sunnah Fi’liyah dalam Shalat
Hal yang dibahas kali ini adalah bahwa sutrah dari imam juga menjadi sutrah bagi makmumnya. Artinya, jika imam sudah menghadap ke sutrah, maka makmum tidak perlu lagi menggunakan sutrah karena sutrah imam sudah mencukupi bagi makmumnya.
Bagaimana jika ada orang yang berjalan di depan makmum? Apakah makmum harus menghadangnya? Jawabannya, tidak perlu. Orang tersebut boleh berjalan di depan makmum yang shalat di belakang imam, tetapi tidak boleh berjalan di depan imam sampai batas sutrah imam. Jika orang tersebut berjalan di luar batas sutrah imam, maka hal itu dibolehkan.
Di sini ada hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan,
أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَي بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيَّ أَحَدٌ
“Aku datang menunggangi seekor keledai, sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat bersama orang-orang di Mina tanpa menghadap dinding (sutrah). Aku pun melewati di depan sebagian shaf makmum, kemudian turun dari keledai dan melepaskannya untuk makan rumput. Lalu, aku masuk ke dalam shaf, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kisah ini menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan. Jika hal itu tidak dibolehkan, tentu ada yang mengingkarinya, mengingat para sahabat yang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa Haji Wada’ itu sangat banyak. Sebab, saat itu adalah haji pertama dan terakhir bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga banyak sahabat yang bersemangat berhaji bersama beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami manusia di Mina, dan sangat mungkin yang shalat bersama beliau saat itu jumlahnya banyak sekali. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkari tindakan Ibnu Abbas yang menaiki kele...Mon, 11 Nov 2024 - 1h 09min - 4041 - Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi
Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 5 Jumadil Awal 1446 H / 7 November 2024 M.
Kajian sebelumnya: Dorongan Imam Muslim Menyusun Kitab Shahih
Kajian Islam Tentang Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas kewajiban dan tanggung jawab seorang mukmin untuk meriwayatkan hadits yang shahih. Imam Muslim, prihatin dengan tersebarnya hadits-hadits yang tidak shahih di tengah masyarakat awam, sehingga akhirnya berjuang menyebarkan hadits-hadits shahih di masyarakat sebagai tanggapan atas fenomena tersebut.
Pada kesempatan ini, kita akan membahas باب تغليظ الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم (peringatan tegas dari Imam Muslim terkait larangan berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Berdusta merupakan dosa besar, bahkan menjadi salah satu ciri kemunafikan. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan dalam Syarah hadits أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا, bahwa ada empat sifat yang menunjukkan kemunafikan. Jika seseorang memiliki keempat sifat itu, maka ia termasuk munafik sejati. Namun, jika hanya memiliki sebagian, maka ia memiliki sifat kemunafikan sesuai kadar sifat tersebut.
Oleh karena itu, sifat kemunafikan, termasuk berdusta, dapat menjangkiti seorang mukmin, terutama ketika keimanannya sedang menurun. Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya Al-Kabair (Kumpulan Dosa-Dosa Besar) mengategorikan berdusta sebagai dosa besar, dan dalilnya sangat banyak. Namun, berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dosa yang lebih parah dibandingkan berdusta dalam percakapan biasa. Dosa ini menjadi lebih besar ketika seseorang mengatasnamakan Nabi pada sesuatu yang beliau tidak katakan.
Apalagi, Imam Muslim rahimahullah dalam Mukadimahnya menyebutkan hadits dari lima orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan, sahabat pertama, Imam Muslim sampai menyebutkan dengan dua jalur. Dan pada hakikatnya, hadits ini diriwayatkan setidaknya tidak kurang 60 sahabat (dikenal dengan hadits mutawatir), sehingga keotentikannya tidak perlu diragukan. Imam Muslim menyebutkan dengan sanad yang jelas dari guru-gurunya tentang peringatan yang beliau tegaskan terhadap siapa saja yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dengan niat baik.
Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam mukadimah kitabnya bahwa ia memiliki prinsip yang tegas dalam memilih hadits untuk dimasukkan dalam Shahih Muslim. Beliau menyatakan bahwa hanya akan meriwayatkan dari perawi yang terpercaya dalam agama, kuat hafalannya, dan minim kesalahan. Imam Muslim menghindari periwayatan dari perawi yang hafalannya lemah atau yang sering melakukan kesalahan, sebab beliau mengutamakan keabsahan riwayat dalam Shahih Muslim.
Adapun dalam mukadimah kitabnya, yang ditulis di belakang, setelah bagian utama Shahih Muslim, beliau kadang meriwayatkan hadits yang diperbincangkan atau yang tidak mencapai derajat shahih. Misalnya,Mon, 11 Nov 2024 - 1h 19min - 4040 - Aqidah Yang Benar
Aqidah Yang Benar adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Syarhus Sunnah karya Imam Al-Barbahari Rahimahullah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Iqbal Gunawan, M.A Hafidzahullah pada Rabu, 4 Jumadil Awal 1446 H / 6 November 2024 M.
Kajian Islam Tentang Aqidah Yang Benar
Kajian kita sampai pada perkataan beliau, “Ketahuilah—semoga Allah merahmatimu.” Doa seperti ini sering digunakan para ulama dalam tulisan mereka, dengan harapan agar Allah senantiasa merahmati orang yang membaca karya-karya mereka. Dalam ceramah, kita juga sering menyapa kaum muslimin dengan ungkapan, “rahimani wa rahimakumullah,” karena kita semua sangat membutuhkan rahmat Allah ‘Azza wa Jalla.
Imam Al-Barbahari berkata bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah.” Pada awal kajian kitab ini, kita telah menjelaskan bahwa istilah Syarhus Sunnah di sini merujuk pada aqidah. Banyak kitab-kitab yang diberi judul As-Sunnah atau Syarhus Sunnah, yang maksudnya adalah pembahasan mengenai aqidah, karena aqidah adalah pokok penting dalam agama Islam.
Maka maksud dari ucapan Imam Al-Barbahari bahwa “tidak ada qiyas dalam Sunnah” adalah bahwa dalam hal aqidah, tidak diperbolehkan menggunakan analogi atau qiyas. Hal ini berbeda dengan hukum fiqih, di mana qiyas dan ijma’ diperbolehkan. Adapun, dalam aqidah, kita hanya mengambil rujukan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena kebanyakan perkara aqidah adalah perkara yang ghaib, tentang iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul, hari akhir, takdir baik dan buruk. Semua ini harus kita ambil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sumber aqidah hanya dua, yaitu Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Semua yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah penyimpangan dan kesesatan.
…فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ…
“Tidak ada setelah kebenaran itu kecuali kesesatan.” (QS. Yunus[10]: 32)
Maka, dalam perkara aqidah, tidak ada qiyas.
Tidak Boleh Mengikuti Hawa Nafsu dalam Beragama
Kemudian beliau Rahimahullah berkata, “Tidak boleh mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan agama ini.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعاً لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (Lihat: Hadits Arbain Ke 41 – Kesempurnaan Iman)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ ۚ …
“Jika mereka tidak menjawab seruanmu, maka ketahuilah bahwa mereka hanya mengikuti hawa nafsu mereka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan meninggalkan petunjuk dari Allah?” (QS. Al-Qashash [28]: 50)
Maka, kita wajib tunduk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,Thu, 07 Nov 2024 - 1h 17min - 4039 - Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja
Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja merupakan kajian Islam ilmiah yang disampaikan oleh Ustadz Abu Ihsan Al-Atsaary dalam pembahasan Ada Apa dengan Remaja. Kajian ini disampaikan pada Selasa, 3 Jumadil Awal 1446 H / 5 November 2024 M.
Kajian Tentang Memberikan Ruang Ekspresi bagi Remaja
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan manusia kelebihan dibandingkan makhluk lain, salah satunya adalah kemampuan berbicara. Bicara adalah nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita, maka kita tidak boleh puasa bicara. Demikian pula, Allah membekali manusia dengan dua telinga untuk menyimak ilmu. Kedua indera ini, yaitu mulut untuk berbicara dan telinga untuk mendengar, sangat vital dalam kehidupan manusia.
Berbicara dan mendengar adalah kebutuhan manusia dalam hidupnya. Sebelumnya, sudah disampaikan bahwa mendengar merupakan sarana penting dalam meraih ilmu. Kita bisa memperoleh pengetahuan dengan menyimak dan mendengar. Dalam sejarah, banyak ulama besar yang memiliki keterbatasan penglihatan, namun mampu unggul dalam ilmu karena mereka menuntut ilmu dengan mengandalkan pendengaran. Hal ini menunjukkan bahwa dengan pendengaran yang baik, manusia tetap dapat mencapai keunggulan dalam ilmu meskipun memiliki keterbatasan fisik.
Penting bagi kita untuk menumbuhkan lingkungan pendidikan yang positif, terutama di rumah. Lingkungan yang positif membantu remaja merasa nyaman mengungkapkan perasaan mereka, sehingga dapat berdiskusi dengan orang tua. Dan orang tua dapat merespons dengan baik, hal-hal yang mungkin dianggap salah atau kurang tepat pada diri mereka dapat diluruskan melalui komunikasi dua arah. Lingkungan yang hanya dipenuhi dengan perintah dan larangan, tanpa ruang untuk berdialog, sebenarnya kurang baik bagi perkembangan remaja. Di masa remaja, akal dan pemikiran mereka tengah berkembang, sehingga perlu diberikan kesempatan untuk berekspresi dan mengungkapkan apa yang mereka rasakan.
Orang tua juga perlu mendengar, agar mereka lebih memahami apa yang terjadi dalam diri anak-anak mereka. Bagi manusia pada umumnya, dan remaja khususnya, dibutuhkan ruang untuk mengekspresikan diri. Tanpa ruang tersebut, seseorang mungkin akan mencari jalan sendiri yang mungkin tidak tepat.
Ada sebuah kisah yang menggambarkan pentingnya memberi ruang kepada mereka yang ingin berubah. Dikisahkan ada seorang pria yang telah membunuh 99 orang. Ia mendatangi seorang ahli ibadah (rahib) dan berkata bahwa ia telah melakukan dosa besar dan ingin bertaubat. Ketika ahli ibadah itu mendengar pengakuannya, ia berkata, “Tidak ada peluang bagimu untuk bertaubat; dosamu sangat berat.” Pria tersebut tidak diberikan kesempatan untuk bertobat, sehingga dalam keputusasaannya, ia pun membunuh ahli ibadah itu. Maka genaplah 100 orang yang telah dibunuhnya.
Kemudian, pria ini mencari orang yang dapat membimbingnya dalam bertaubat dan bertemu dengan seorang ahli ilmu. Ia mengajukan pertanyaan yang sama, “Adakah kesempatan bagiku untuk bertaubat?” Ahli ilmu ini, dengan pengetahuannya, memahami bahwa pria ini membutuhkan ruang untuk melepaskan diri dari kesalahannya. Maka, ahli ilmu itu berkata, “Apa yang menghalangimu untuk bertaubat? Bertaubatlah.” Meski pria ini telah membunuh 100 orang, ahli ilmu tersebut tetap memberinya ruang untuk kembali ke jalan yang benar.
Pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah ini adalah bahwa setiap manusia membutuhkan ruang, jangan dipersempit. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pe...Wed, 06 Nov 2024 - 52min - 4038 - Larangan Tathayyur
Larangan Tathayyur adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 3 Jumadil Awal 1446 H / 5 November 2024 M.
Kajian sebelumnya: Larangan Mencabik Wajah saat Tertimpa Musibah
Kajian Tentang Larangan Tathayyur
Pada kesempatan ini, kita memasuki bab baru tentang larangan terhadap tathayyur, atau mempercayai pertanda buruk. Tathayyur adalah anggapan seseorang ketika mendengar atau melihat sesuatu yang dianggap sebagai pertanda buruk sebelum melakukan suatu usaha atau upaya. Misalnya, seseorang yang mendengar kicauan burung tertentu atau melihat tanda tertentu, kemudian beranggapan bahwa usahanya akan gagal atau merugi.
Tathayyur merupakan bentuk keraguan dalam diri manusia, tetapi bagi seorang yang bertauhid dan beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla, anggapan-anggapan semacam ini tidak seharusnya menjadi penentu atau pembatas dalam mengambil keputusan atau melakukan usaha.
…فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ…
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran[3]: 159)
Ketika hendak mengerjakan sesuatu, seorang Muslim hendaknya bertekad dan mengerjakannya. Jangan membiarkan pandangan atau suara tertentu mempengaruhinya.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
«لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُني الفَألُ» قالُوا: وَمَا الفَألُ؟ قَالَ: «كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ»
“Tidak ada penularan penyakit secara otomatis (tanpa izin Allah), dan tidak ada tathayyur. Aku sangat takjub dengan fa’l (optimisme)” Para sahabat bertanya, “Apakah fa’l itu?” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Yaitu ucapan-ucapan yang baik” (Muttafaqun ‘alaihi).
Para ulama, ketika menjelaskan hadits ini, menyebut bahwa maksud dari lā adwā adalah bahwa suatu penyakit tidak akan berpindah kepada orang lain kecuali dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, tidak ada perpindahan penyakit dari seseorang ke orang lain tanpa kehendak Allah. Jika seseorang terkena suatu penyakit dari orang lain, maka semua itu terjadi dengan ketentuan-Nya.
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menekankan bahwa setiap orang yang tertimpa penyakit, maka tidak mungkin penyakit itu berpindah kepada dirinya tanpa takdir Allah. Semua yang menimpa seorang hamba—termasuk penyakit—adalah bagian dari ketetapan-Nya. Bahkan, segala yang terjadi di alam semesta ini adalah atas izin dan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda “Lā adwā”, artinya pindahnya suatu penyakit dari seseorang kepada orang lain. Suatu penyakit tidak dapat berpindah dari seseorang ke orang lain dengan sendirinya, akan tetapi itu terjadi dengan takdir Allah. Jika Allah tidak menakdirkan seseorang terkena penyakit dari orang lain, maka penyakit itu tidak akan menjangkiti dirinya.Wed, 06 Nov 2024 - 1h 17min - 4037 - Bahaya Nafsu Bagi Pemiliknya
Bahaya Nafsu Bagi Pemiliknya adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 2 Jumadil Awal 1446 H / 4 November 2024 M.
Kajian sebelumnya: Perjalanan Nabi Yusuf dari Penjara ke Kerajaan
Kajian Tentang Bahaya Nafsu Bagi Pemiliknya
Dalam kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam, terdapat beberapa pelajaran berharga atau minhah, yakni anugerah yang Allah berikan kepada beliau. Salah satunya adalah ketika Nabi Yusuf keluar dari penjara dan diberi kedudukan tinggi di sisi raja, setelah bertahun-tahun dipenjara tanpa kesalahan yang dilakukannya. Nabi Yusuf menunjukkan kesabaran dalam menghadapi ujian ini, hingga akhirnya Allah memberikan jalan keluar yang penuh kehormatan.
Dari Nabi Yusuf, kita dapat mengambil dua pelajaran penting:
Pertama, bahaya nafsu bagi pemiliknya
Setiap manusia memiliki nafsu, dan penting untuk memahami sifat serta bahayanya. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan bahwa nafsu terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
An-Nafs al-Muthma’innah (jiwa yang tenang)
Ini adalah tingkatan nafsu tertinggi, jiwa yang damai dan tenang, senantiasa taat kepada Allah, menghindari maksiat, serta menjalani amal-amal shalih di atas keimanan. Mengenai nafsu ini, Allah berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr [89]: 27–30)
Jiwa yang tenang, akan membawa pemiliknya menuju surga Allah.
An-nafsu al-lawwamah (nafsu yang mencela)
Allah berfirman dalam surah Al-Qiyamah:
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ ﴿١﴾ وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ ﴿٢﴾
“Aku bersumpah demi hari kiamat, dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah [75]: 1-2)
Para ulama menjelaskan bahwa an-nafsu al-lawwamah ini adalah nafsu yang berada di antara kebaikan dan keburukan. Kadang ia mengajak pada kebaikan dan ketaatan, namun kadang tergelincir pada perbuatan maksiat. Nafsu ini sering kali mencela diri sendiri, menyesali perbuatan buruk, namun kemudian kembali mengulanginya.
An-nafsu al-ammarah bis-su’ (nafsu yang selalu memerintahkan keburukan)
Nafsu ini disebutkan dalam perkataan istri Al-Aziz yang berkata:
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي…
“Dan aku tidak menyatakan diriku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” (QS. Yusuf [12]: 53)
Jenis nafsu ini selalu mengajak pada perbuatan buruk dan maksiat. Nafsu ini merupakan keburukan dan kecelakaan bag...Tue, 05 Nov 2024 - 53min
Mostrar más episodios
5Podcasts similares a Radio Rodja 756 AM
- Global News Podcast BBC World Service
- El Partidazo de COPE COPE
- Herrera en COPE COPE
- The Dan Bongino Show Cumulus Podcast Network | Dan Bongino
- dakwah.me - Ustadz Adi Hidayat dakwahme
- Es la Mañana de Federico esRadio
- La Noche de Dieter esRadio
- Hondelatte Raconte - Christophe Hondelatte Europe 1
- Kajian Ustadz Khalid Basalamah Kajian Islam
- La rosa de los vientos OndaCero
- Más de uno OndaCero
- La Zanzara Radio 24
- Les Grosses Têtes RTL
- L'Heure Du Crime RTL
- El Larguero SER Podcast
- Nadie Sabe Nada SER Podcast
- SER Historia SER Podcast
- Todo Concostrina SER Podcast
- 安住紳一郎の日曜天国 TBS RADIO
- TED Talks Daily TED
- The Tucker Carlson Show Tucker Carlson Network
- 辛坊治郎 ズーム そこまで言うか! ニッポン放送
- 飯田浩司のOK! Cozy up! Podcast ニッポン放送
- 武田鉄矢・今朝の三枚おろし 文化放送PodcastQR