Filtrar por género

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756AM

Menebar Cahaya Sunnah

4045 - Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun
0:00 / 0:00
1x
  • 4045 - Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun

    Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 10 Jumadil Awal 1446 H / 12 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Larangan Tathayyur







    Kajian Tentang Larangan Memelihara Anjing, Kecuali untuk Berburu atau Menjaga Kebun



    Pembahasan kita masih mengenai larangan-larangan dalam Islam, saat ini sampai pada larangan memelihara anjing, kecuali untuk seperti berburu, menjaga ternak atau kebun. Adapun memelihara anjing hanya untuk hobi atau sekadar sebagai peliharaan di rumah atau pekarangan tanpa alasan yang dibenarkan adalah sesuatu yang dilarang.



    Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,



    مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إلاَّ كَلْبَ صَيْدٍ أوْ مَاشِيَةٍ فَإنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أجْرِهِ كُلَّ يَومٍ قِيرَاطَانِ



    ‘Barangsiapa yang mengambil anjing sebagai peliharaannya, kecuali anjing untuk berburu atau menjaga ternak, maka pahalanya akan berkurang setiap harinya sebanyak dua qirath (gunung besar).’” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam satu riwayat disebutkan: “Berkurang satu qirath.”



    Larangan Memelihara Anjing dalam Islam



    Maksud dari hadits ini yaitu seseorang memelihara anjing tanpa kepentingan atau memperjualbelikannya, ini termasuk dalam hal yang dilarang dalam Islam. Adapun yang dimaksud ماشية adalah binatang ternak (sapi, kambing, atau unta). Pemilik ternak seperti kambing, sapi, atau unta mungkin perlu menjaga hewan-hewannya dari ancaman binatang buas, seperti serigala, yang bisa memangsa hewan ternak. Dalam situasi seperti ini, Islam memperbolehkan penggunaan anjing untuk menjaga binatang ternak demi keamanan mereka.



    Begitu pula, jika seseorang memiliki kebun dengan tanaman yang bermanfaat, seperti di luar kota, ia boleh memelihara anjing untuk menjaga tanamannya dari binatang perusak seperti babi hutan yang kerap datang di malam hari dan merusak tanaman. Memiliki anjing penjaga di kebun dalam hal ini juga diperbolehkan.



    Selain itu, memelihara anjing untuk berburu juga dibolehkan dalam Islam. Hal ini sesuai dengan riwayat hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, yang berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,



    مَنْ أمْسَكَ كَلْبًا، فَإنَّهُ ينْقُصُ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَومٍ قِيرَاطٌ إلاَّ كَلْبَ حَرْثٍ أوْ مَاشِيَةٍ



    “Barangsiapa yang memelihara anjing, maka akan berkurang pahala amal kebaikannya setiap hari satu qirath (gunung besar), kecuali anjing yang digunakan untuk pertanian (menjaga ladang) atau untuk menjaga ternak.” (HR. Bukhari dan Muslim)



    Dalam satu redaksi dari Imam Muslim, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



    مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ، وَلاَ مَاشِيَةٍ وَلاَ أرْضٍ، فَإنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ



    “Barangsiapa memelihara anjing yang bukan untuk berburu, bukan pula untuk menjaga ternak dan tidak untuk menjaga ladangnya, maka berkuranglah pahalanya setiap hari sebanyak dua qirath (gunung besa...
    Wed, 13 Nov 2024 - 1h 14min
  • 4044 - Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah

    Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Al-Bayan Min Qashashil Qur’an. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Abu Ya’la Kurnaedi, Lc. pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Bahaya Nafsu Bagi Pemiliknya







    Kajian Tentang Kekuasaan dan Kepemimpinan Sepenuhnya dari Allah



    Kita masih membahas kisah Nabi Yusuf ‘Alaihis Salam. Pada kesempatan sebelumnya, kita telah sampai pada halaman ke-346, yang membahas tentang kekuasaan. Di sini, penulis rahimahullah menyampaikan beberapa ayat dari Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa kekuasaan sepenuhnya dari Allah. Allah-lah yang memberi kekuasaan kepada siapa yang Dia kehendaki dan mencabutnya dari siapa yang Dia kehendaki.



    Allah Ta’ala berfirman dalam Surah Ali Imran:



    قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ



    “Katakanlah (Wahai Muhammad), ‘Wahai Rabb yang memiliki kerajaan/kekuasaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan-Mu lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'” (QS. Ali Imran [3]: 26).



    Ayat lainnya dalam Surah Al-Baqarah juga menegaskan hal serupa:



    …وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ…



    “Dan Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Baqarah [2]: 247).



    Kemudian, Allah menjelaskan tentang kekuasaan yang diberikan kepada Nabi Daud ‘Alaihis Salam. Firman-Nya:



    …وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ…



    “Dan Allah telah memberikannya kerajaan” (QS. Al-Baqarah [2]: 251)



    Kemudian, Allah juga menyebutkan tentang Raja Namrud yang diberi kekuasaan dan kerajaan. Dalam Surah Al-Baqarah, Allah berfirman:



    أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ…



    “Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Rabbnya, karena Allah telah memberinya kekuasaan?” (QS. Al-Baqarah [2]: 258)



    Jadi, Allah-lah yang memberikan kekuasaan kepada Namrud, dan Allah juga yang membinasakan Namrud. Selanjutnya, Allah berfirman dalam Surah An-Nisa tentang keluarga Nabi Ibrahim:



    …فَقَدْ آتَيْنَا آلَ إِبْرَاهِيمَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَآتَيْنَاهُمْ مُلْكًا عَظِيمًا



    “Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada keluarga Ibrahim Kitab dan hikmah, serta Kami anugerahkan kepada mereka kerajaan yang besar.” (QS. An-Nisa [4]: 54)



    Allah juga menyebutkan dalam Surah Al-Maidah tentang Nabi Musa yang mengingatkan kaumnya akan kedudukan mereka:



    وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا…

    Wed, 13 Nov 2024 - 1h 03min
  • 4043 - Mengajari dengan Memberikan Contoh

    Mengajari dengan Memberikan Contoh ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.







    Kajian Tentang Mengajari dengan Memberikan Contoh



    Kali ini kita akan mempelajari fiqih pendidikan anak dalam serial nomor 201, dengan tema “Mengajari dengan Memberikan Contoh”. Salah satu kewajiban orang tua adalah mendidik anak. Namun, apakah cukup dengan ucapan, atau perlu disertai contoh langsung? Hal ini tergantung pada beberapa faktor, di antaranya adalah usia anak.



    Mengajari anak SMA tentu berbeda dengan mengajari anak TK, sebab tingkat pemahaman mereka pun berbeda. Misalnya, anak TK mungkin kesulitan merangkai atau membuat prakarya, sementara anak SMA sudah memiliki keterampilan yang lebih baik. Contohnya, seorang anak TK mungkin belum bisa memegang gunting dengan benar, sementara anak SMA atau mahasiswa sudah memahami cara kerja alat-alat yang lebih kompleks.



    Faktor lainnya adalah kompleksitas tugas yang diberikan. Seberapa rumit tugas tersebut menentukan apakah anak memerlukan contoh langsung atau cukup dengan instruksi lisan. Misalnya, memasak nasi goreng melibatkan tahapan-tahapan yang lebih rumit dibandingkan dengan tugas sederhana seperti menggantungkan baju.



    Selain itu, pengalaman anak dalam aktivitas tertentu juga perlu diperhitungkan. Anak yang memiliki pengalaman dalam melakukan suatu kegiatan tentunya akan lebih mudah mengikuti instruksi dibandingkan dengan anak yang belum pernah melakukannya.



    Misalnya, ada seorang anak yang tinggal di desa dan ayahnya memiliki 50 ekor kambing. Setiap hari, sang ayah mencari rumput dengan ditemani anaknya, yang juga ikut membantu. Pengalaman anak seperti ini jelas berbeda dengan anak yang tinggal di kota dan hanya melihat kambing di televisi. Anak yang tidak terbiasa akan kebingungan ketika disuruh mencari rumput, mungkin malah mencabut rumput sembarangan tanpa memahami apa yang dibutuhkan.



    Tingkat pengalaman sangat memengaruhi pemahaman anak dalam melakukan suatu tugas. Maka, tidak bisa disamakan antara anak yang sudah sering terlibat dalam kegiatan tertentu dengan anak yang belum pernah melakukannya. Hal ini juga diperhatikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saat mengajari anak-anak. Beliau memperhatikan usia, kompleksitas tugas, dan pengalaman anak.



    Contohnya, terdapat sebuah kisah dari seorang sahabat yang dikenal sebagai Abu Said Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu. Abu Said menceritakan,



    أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِغُلَامٍ يَسْلُخُ شَاةً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «‌تَنَحَّ، ‌حَتَّى أُرِيَكَ» فَأَدْخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ بَيْنَ الْجِلْدِ وَاللَّحْمِ، فَدَحَسَ بِهَا، حَتَّى تَوَارَتْ إِلَى الْإِبِطِ وَقَالَ: «يَا غُلَامُ هَكَذَا فَاسْلُخْ» ثُمَّ مَضَى وَصَلَّى لِلنَّاسِ، وَلَمْ يَتَوَضَّأْ.



    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melewati seorang anak muda yang sedang menguliti kambing. Beliau berkata kepadanya, “Bergeserlah. Kutunjukkan caranya”. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memasukkan tangannya di antara kulit dan daging, lalu menggerakkannya hingga tangan beliau sampai ke bawah lengan kambing. Lalu beliau bersabda, “Begitulah caranya Nak. Sekarang lakukanlah”. Kemudian beliau berlalu dan mengimami orang banyak,
    Tue, 12 Nov 2024 - 45min
  • 4042 - Masalah Seputar Shalat Berjamaah

    Masalah Seputar Shalat Berjamaah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Kitab Shahihu Fiqhis Sunnah wa Adillatuhu yang disampaikan oleh Ustadz Dr. Musyaffa Ad-Dariny, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 9 Jumadil Awal 1446 H / 11 November 2024 M.







    Download kajian sebelumnya: Hukum Bershaf di Antara Tiang di Tempat Shalat



    Kajian Tentang Masalah Seputar Shalat Berjamaah



    Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas beberapa masalah yang berkaitan dengan shalat berjamaah. Pembahasan ini hanya akan mencakup sebagian dari banyak masalah yang terkait dengan shalat berjamaah. Pertama, kita akan membahas tentang sutrah (pembatas yang diletakkan di depan seseorang ketika sedang shalat sebagai batas dari tempat sujudnya).



    Dalam beberapa pertemuan sebelumnya, kita telah membahas tentang sutrah ini. Apakah sutrah itu wajib, seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama, ataukah sutrah hanya sunnah muakkadah, sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama? Dalam pembahasan itu, kita menguatkan pendapat mayoritas ulama bahwa sutrah dalam shalat adalah sunnah muakkadah, bukan wajib, tetapi sangat dianjurkan, hampir mendekati derajat wajib.



    Lihat pembahasan: Sunnah-Sunnah Fi’liyah dalam Shalat



    Hal yang dibahas kali ini adalah bahwa sutrah dari imam juga menjadi sutrah bagi makmumnya. Artinya, jika imam sudah menghadap ke sutrah, maka makmum tidak perlu lagi menggunakan sutrah karena sutrah imam sudah mencukupi bagi makmumnya.



    Bagaimana jika ada orang yang berjalan di depan makmum? Apakah makmum harus menghadangnya? Jawabannya, tidak perlu. Orang tersebut boleh berjalan di depan makmum yang shalat di belakang imam, tetapi tidak boleh berjalan di depan imam sampai batas sutrah imam. Jika orang tersebut berjalan di luar batas sutrah imam, maka hal itu dibolehkan.



    Di sini ada hadits yang diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma. Beliau mengatakan,



    أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَي بَعْضِ الصَّفِّ، فَنَزَلْتُ فَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيَّ أَحَدٌ



    “Aku datang menunggangi seekor keledai, sementara Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat bersama orang-orang di Mina tanpa menghadap dinding (sutrah). Aku pun melewati di depan sebagian shaf makmum, kemudian turun dari keledai dan melepaskannya untuk makan rumput. Lalu, aku masuk ke dalam shaf, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku.” (HR. Bukhari dan Muslim)



    Kisah ini menunjukkan bahwa hal tersebut dibolehkan. Jika hal itu tidak dibolehkan, tentu ada yang mengingkarinya, mengingat para sahabat yang bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada peristiwa Haji Wada’ itu sangat banyak. Sebab, saat itu adalah haji pertama dan terakhir bagi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sehingga banyak sahabat yang bersemangat berhaji bersama beliau. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengimami manusia di Mina, dan sangat mungkin yang shalat bersama beliau saat itu jumlahnya banyak sekali. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkari tindakan Ibnu Abbas yang menaiki kele...
    Mon, 11 Nov 2024 - 1h 09min
  • 4041 - Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi

    Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 5 Jumadil Awal 1446 H / 7 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Dorongan Imam Muslim Menyusun Kitab Shahih







    Kajian Islam Tentang Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi



    Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas kewajiban dan tanggung jawab seorang mukmin untuk meriwayatkan hadits yang shahih. Imam Muslim, prihatin dengan tersebarnya hadits-hadits yang tidak shahih di tengah masyarakat awam, sehingga akhirnya berjuang menyebarkan hadits-hadits shahih di masyarakat sebagai tanggapan atas fenomena tersebut.



    Pada kesempatan ini, kita akan membahas باب تغليظ الكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم (peringatan tegas dari Imam Muslim terkait larangan berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam). Berdusta merupakan dosa besar, bahkan menjadi salah satu ciri kemunafikan. Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan dalam Syarah hadits  أَرْبَعٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا وَمَنْ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيهِ خَلَّةٌ مِنْ نِفَاقٍ حَتَّى يَدَعَهَا, bahwa ada empat sifat yang menunjukkan kemunafikan. Jika seseorang memiliki keempat sifat itu, maka ia termasuk munafik sejati. Namun, jika hanya memiliki sebagian, maka ia memiliki sifat kemunafikan sesuai kadar sifat tersebut.



    Oleh karena itu, sifat kemunafikan, termasuk berdusta, dapat menjangkiti seorang mukmin, terutama ketika keimanannya sedang menurun. Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitabnya Al-Kabair (Kumpulan Dosa-Dosa Besar) mengategorikan berdusta sebagai dosa besar, dan dalilnya sangat banyak. Namun, berdusta atas nama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah dosa yang lebih parah dibandingkan berdusta dalam percakapan biasa. Dosa ini menjadi lebih besar ketika seseorang mengatasnamakan Nabi pada sesuatu yang beliau tidak katakan.



    Apalagi, Imam Muslim rahimahullah dalam Mukadimahnya menyebutkan hadits dari lima orang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bahkan, sahabat pertama, Imam Muslim sampai menyebutkan dengan dua jalur. Dan pada hakikatnya, hadits ini diriwayatkan setidaknya tidak kurang 60 sahabat (dikenal dengan hadits mutawatir), sehingga keotentikannya tidak perlu diragukan. Imam Muslim menyebutkan dengan sanad yang jelas dari guru-gurunya tentang peringatan yang beliau tegaskan terhadap siapa saja yang berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun dengan niat baik.



    Imam Muslim rahimahullah menyebutkan dalam mukadimah kitabnya bahwa ia memiliki prinsip yang tegas dalam memilih hadits untuk dimasukkan dalam Shahih Muslim. Beliau menyatakan bahwa hanya akan meriwayatkan dari perawi yang terpercaya dalam agama, kuat hafalannya, dan minim kesalahan. Imam Muslim menghindari periwayatan dari perawi yang hafalannya lemah atau yang sering melakukan kesalahan, sebab beliau mengutamakan keabsahan riwayat dalam Shahih Muslim.



    Adapun dalam mukadimah kitabnya, yang ditulis di belakang, setelah bagian utama Shahih Muslim, beliau kadang meriwayatkan hadits yang diperbincangkan atau yang tidak mencapai derajat shahih. Misalnya,
    Mon, 11 Nov 2024 - 1h 19min
Mostrar más episodios