Filtrar por género

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756 AM

Radio Rodja 756AM

Menebar Cahaya Sunnah

4053 - Doa Lelaki untuk Wanita yang Bersin
0:00 / 0:00
1x
  • 4053 - Doa Lelaki untuk Wanita yang Bersin

    Doa Lelaki untuk Wanita yang Bersin adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Al-Adabul Mufrad. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Syafiq Riza Basalamah, M.A. pada Senin, 16 Jumadil Awal 1446 H / 18 November 2024 M.







    Kajian Islam Tentang Doa Lelaki untuk Wanita yang Bersin



    Kajian ini mengangkat Bab 425 dari kitab Adabul Mufrad karya Imam Bukhari, yang membahas tentang seorang lelaki mendoakan seorang wanita yang bersin dan mengucapkan Alhamdulillah.



    Hal ini perlu dibahas karena banyak kerusakan hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang salah satunya disebabkan oleh kurangnya pemahaman agama. Kerusakan ini terlihat dari maraknya perzinaan, bahkan di lingkungan sekolah, kampus, hingga dunia kerja. Ini diebabkan banyaknya orang yang tidak mau belajar agama dan tidak memahami tujuan hidup, lupa bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda tetapi sama-sama bertujuan untuk beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.



    Allah mengingatkan bahwa dunia hanya sementara:



    …قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيلٌ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَىٰ وَلَا تُظْلَمُونَ فَتِيلًا



    “Kesenangan dunia itu sedikit, sedangkan akhirat lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan didzalimi sedikit pun.” (QS. An-Nisa[4]: 77)



    Namun, manusia sering terlena memenuhi hawa nafsunya tanpa mempedulikan aturan Allah. Bahkan sampai masalah bersin ini dibahas, bagaimana aturannya antara laki-laki dan perempuan? Jangan sampai seorang lelaki terfitnah oleh perempuan, atau sebaliknya.



    Kisah tentang Mendoakan Orang yang Bersin



    Dari Abu Burdah, ia berkata, “Aku masuk ke rumah Abu Musa yang berada di rumah Ummul Fadhl binti Al-Abbas (maksudnya adalah Ummu Kultsum putrinya Al-Fadhl bin Abbas yang merupakan istri Abu Musa yang lain). Ketika itu aku bersin, tetapi ayahku tidak mendoakanku, sementara ketika istrinya (Ummu Kultsum) bersin, ia didoakan. Maka aku memberitahu ibuku.



    Ketika ia (Abu Musa) datang kepada ibuku, ibuku mengadukan hal tersebut kepadanya, katanya: “Anakku bersin, tetapi engkau tidak mendoakannya. Namun, ketika dia bersin, engkau doakan dia.” Maka Abu Musa berkata kepadanya: “Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



    إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَحَمِدَ اللَّهَ فَشَمِّتُوهُ، وَإِنْ لَمْ يَحْمَدِ اللَّهَ فَلَا تُشَمِّتُوهُ



    “Apabila salah seorang dari kalian bersin dan memuji Allah, maka doakanlah dia. Namun, jika ia tidak memuji Allah, maka janganlah mendoakannya.”



    Anakmu bersin, tetapi tidak mengucapkan ‘Alhamdulillah,’ sehingga aku tidak mendoakannya. Sementara dia bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillah,’ maka aku mendoakan dia.” Ibunya berkata: “Engkau telah melakukan yang benar.” (HR. Bukhari)



    Dari hadits ini, terdapat pelajaran penting bagi wanita dalam menjaga keharmonisan rumah tangga. Banyak permasalahan muncul dalam rumah tangga. Ketika salah satu pihak, terutama suami, mencoba menyelesaikan konflik, namun tidak diterima dengan baik oleh istrinya. Misalnya, ketika seorang suami melakukan sesuatu yang secara tidak sengaja melukai hati istrinya, lalu ia meminta maaf, maka tolong seorang istri berusaha menerima alasan tersebut.


    Thu, 21 Nov 2024 - 1h 00min
  • 4052 - Disyariatkannya Doa Iftitah

    Disyariatkannya Doa Iftitah ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Doa dan Dzikir yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 16 Jumadil Awal 1446 H / 18 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Doa antara Adzan dan Iqamah







    Kajian Tentang Disyariatkannya Doa Iftitah



    Kajian kali ini kita memasuki serial nomor 224 dengan tema Disyariatkannya Doa Iftitah. Penyebutan “iftitah” atau “istiftah” keduanya diperbolehkan, tidak perlu diperdebatkan. Ada hal yang lebih penting daripada sekadar istilah ini, yaitu memahami dan mengamalkan kandungannya.



    Fiqih doa dan dzikir yang kita bahas sebelumnya mencakup berbagai topik seperti menjawab muadzin, doa setelah adzan, hingga doa antara adzan dan iqamah. Sekarang, kita memasuki pembahasan tentang doa iftitah yang merupakan bagian dari bacaan shalat.



    Pembahasan tentang bacaan shalat ini penting karena shalat terdiri atas tiga unsur utama: bacaan, gerakan, dan resapan hati. Shalat yang sempurna melibatkan ketiga unsur ini secara aktif. Lisannya membaca, tubuhnya bergerak, dan hatinya khusyuk. Shalat seperti ini insya Allah akan membawa manfaat besar, sebagaimana firman Allah:



    …إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ…



    “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut [29]: 45)



    Namun, mengapa ada orang yang tetap bermaksiat meskipun sudah shalat? Hal ini disebabkan karena shalatnya belum sempurna. Mungkin baru sebatas gerakan tubuh atau hanya bacaan di lisan, tanpa diresapi oleh hati. Oleh karena itu, salah satu ikhtiar untuk menyempurnakan shalat adalah mempelajari bacaan-bacaannya, termasuk doa iftitah.



    Bagaimana mungkin seseorang bisa meresapi kalimat yang ia baca jika tidak memahami maknanya? Sama seperti membaca cerita dalam bahasa asing yang tidak kita pahami. Maka, memahami makna bacaan shalat adalah kunci untuk meresapinya.



    Setelah bertakbir (takbiratul ihram), yang telah dibahas pada kajian sebelumnya, gerakan berikutnya adalah bersedekap. Namun, pembahasan kita kali ini bukan tentang gerakan, melainkan bacaan. Jika ingin mempelajari pembahasan bersedekap, Anda bisa merujuk pada serial kajian “Shalat Lahir Batin” yang membahasnya secara lengkap.



    Bacaan pertama setelah takbiratul ihram adalah doa iftitah. Inilah yang akan kita bahas sebagai awal dari pembahasan bacaan-bacaan shalat.



    Tuntunan shalat yang Benar: Pentingnya Wudu dan Doa Iftitah



    Dalil yang menjadi landasan dalam pembahasan ini adalah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika memberikan nasihat kepada seorang sahabat, Rifa’ah bin Rafi’ Radhiyallahu ‘Anhu. Sahabat ini pernah melakukan shalat dengan cara yang keliru, sehingga diajari langsung oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Begitulah cara Nabi menyikapi orang yang keliru, dengan mengajarkan dan membimbingnya.



    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:



     إنَّه لا تَتِمُّ صلاةٌ لأحدٍ مِن الناسِ حتى يَتوضَّأَ فيضَعَ الوُضوءَ -يعني: مَواضعَه- ثمَّ يُكبِّرَ ويَحمَدَ اللهَ عزَّ وجلَّ ويُثنيَ عليه، ويَقرَأَ بما شاء مِن القُرآنِ



    Wed, 20 Nov 2024 - 45min
  • 4051 - Bab Berisyarat dengan Jari saat Khutbah Jumat

    Bab Berisyarat dengan Jari saat Khutbah Jumat merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 15 Jumadil Awal 1446 H / 17 November 2024 M.







    Kajian Tentang Bab Berisyarat dengan Jari saat Khutbah Jumat



    Diriwayatkan dari Husain, dari Umarah bin Ru’aibah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa ia melihat Bisr bin Marwan di atas mimbar mengangkat dua tangannya saat berdoa (dalam khutbah Jumat). Umarah berkata:



    قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ



    “Semoga Allah memburukkan dua tangan ini. Sungguh, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melebihi berisyarat seperti ini.” Lalu beliau pun berisyarat dengan jari telunjuknya. (HR. Muslim)



    Dari hadits ini, kita dapat mengambil faedah bahwa seorang khatib Jumat tidak disyariatkan untuk mengangkat dua tangannya saat berdoa dalam khutbah. Imam Al-Bahuti rahimahullah dalam kitab Kasyaf al-Qina’ menyatakan: “Dimakruhkan bagi imam mengangkat kedua tangannya saat berdoa dalam khutbah.”



    Al-Majd berkata: “Bahkan, itu adalah bid’ah.”



    Pendapat ini sesuai dengan mazhab Malikiyah, Syafi’iyah, dan selainnya. Dan tidak mengapa dia berisyarat dengan jari telunjuknya saat berdoa dalam khutbah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Muslim. Bahwasannya Umarah bin Ru’aibah Radhiyallahu ‘Anhu melihat Bisr bin Marwan mengangkat dua tangannya ketika berdoa dalam khutbah.



    Hadits ini juga menunjukkan bahwa tidak disyariatkan khatib Jumat ketika berdoa mengangkat kedua tangannya. Karena sahabat Nabi mengingkari praktik mengangkat kedua tangan saat berdoa dalam khutbah, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya berisyarat dengan jari telunjuknya.



    Faedah yang kedua, seorang makmum boleh mengingkari khatib Jumat secara langsung kalau ternyata dalam khutbah Jumatnya itu dia melakukan atau menyampaikan sesuatu yang mungkar. Buktinya sahabat nabi ini mengingkari khatib Jumat saat itu Bisr bin Marwan yang mengangkat dua tangannya ketika berdoa dalam khutbah Jumat.



    Mengajarkan Ilmu saat Khutbah



    Dari Abu Rifa’ah Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: “Aku sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau sedang berkhutbah. Lalu aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku adalah orang asing yang datang untuk bertanya tentang agamaku karena aku tidak tahu apa itu agamaku.’ Rasulullah pun menghampiriku dan meninggalkan khutbahnya. Kemudian didatangkan kursi yang kaki-kakinya terbuat dari besi, lalu beliau duduk di atas kursi tersebut. Beliau mengajarkanku apa yang telah Allah ajarkan kepadanya. Setelah itu, beliau kembali menyempurnakan khutbahnya.” (HR. Muslim)



    Lihat juga: materi khutbah Jumat singkat



    Dari hadit ini kita ambil faedah:



    Pertama, tawadhu’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.



    Hadits ini menunjukkan betapa tawadhu’-nya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau sampai meninggalkan khutbahnya demi mengajarkan seseorang yang meminta bimbingan tentang agamanya...
    Wed, 20 Nov 2024
  • 4050 - Adab Penuntut Ilmu

    Adab Penuntut Ilmu adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Sabtu, 14 Jumadil Awal 1446 H / 16 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Keistimewaan Belajar Menurut Para Ulama dari Sahabat, Tabi’in, hingga Generasi Setelahnya







    Kajian Islam Tentang Adab Penuntut Ilmu



    Seorang thalibul ilmi (penuntut ilmu) perlu memperhatikan adab, baik ketika belajar, berhadapan dengan gurunya, menghadiri majelis, maupun dalam memperlakukan kitabnya. Hal ini bisa menjadi sebab datangnya keberkahan. Sebaliknya, jika seseorang mengabaikan adab tersebut, bisa jadi ia terhalang dari memperoleh ilmu yang bermanfaat.



    Bukan berarti kita harus mengkultuskan guru, kawan, atau buku yang sedang dibahas. Namun, sebagian orang menunjukkan rasa hormat dengan menjaga kitab, seperti memperlakukannya dengan hati-hati. Bahkan, ada yang sampai mencium mushaf berkali-kali jika mushaf tersebut jatuh, meskipun tidak ada dalil yang mewajibkan hal itu. Di sisi lain, ada pula orang yang mengabaikan mushaf, misalnya melemparkannya begitu saja ketika hendak shalat. Ketika ditanya, mereka menjawab, “Tidak ada dalilnya.”



    Subhanallah, para ulama tidak bersikap seperti itu. Mereka sangat menghormati karya para ulama, meskipun terdapat kesalahan dalam isinya. Contohnya adalah Imam Ahmad rahimahullah. Suatu ketika, beliau melihat Ishaq bin Rahuyah membawa sebuah buku yang isinya memiliki kesalahan dalam aqidah. Buku tersebut dilempar, sehingga Imam Ahmad marah. Beliau berkata, “Apakah seperti ini cara memperlakukan tulisan orang-orang baik?” Meskipun ada kesalahan pada orang yang menulisnya, tulisan tersebut tetap harus dihargai.



    Adab ini menjadi cerminan sikap para ulama terdahulu yang sangat menghormati ilmu. Sayangnya, praktik seperti ini jarang ditemukan di zaman sekarang. Ada guru yang membuang tugas muridnya seolah tidak ada nilainya. Padahal, tugas tersebut seharusnya dihargai, bukan karena berasal dari murid, tetapi karena di dalamnya mungkin terkandung Kalamullah atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.



    Al-Imam Ibnu Jamaah rahimahullah menyusun kitab yang dimulai dengan pembahasan keistimewaan ilmu, bab kedua tentang adab seorang alim, bab ketiga tentang adab seorang muta’alim (penuntut ilmu), dan bab keempat membahas adab dalam memperlakukan buku dan hal-hal yang serupa.



    Seorang thalibul ilmi sudah mendapat kehormatan besar hanya dengan menjadi bagian dari penuntut ilmu. Ketika membaca biografi para ulama, kita sering merasa malu karena belum mampu meniru mereka. Namun, bukan berarti seseorang harus seperti mereka agar layak menjadi penuntut ilmu. Bahkan, dalam menyampaikan amar ma’ruf nahi munkar, seseorang tidak harus suci seperti malaikat tanpa dosa.



    Sa’id bin Jubair rahimahullah pernah berkata, “Kalau seandainya tidak ada orang yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar kecuali dia bersih dari dosa, maka tidak akan ada seorang pun yang melakukannya.” Imam Malik rahimahullah juga menegaskan hal ini.



    Seorang penuntut ilmu harus memperbaiki dirinya. Ini adab yang pertama disebutkan,
    Tue, 19 Nov 2024 - 59min
  • 4049 - Celaan bagi Orang yang Mudah Menyebarkan Cerita

    Celaan bagi Orang yang Mudah Menyebarkan Cerita adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan Syarah Muqaddimah Shahih Muslim. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Dr. Emha Hasan Ayatullah pada Kamis, 12 Jumadil Awal 1446 H / 14 November 2024 M.



    Kajian sebelumnya: Peringatan Tegas Imam Muslim tentang Larangan Berdusta atas Nama Nabi







    Kajian Islam Tentang Celaan bagi Orang yang Mudah Menyebarkan Cerita



    Pada kajian ini dibahas tentang celaan bagi orang yang mudah bercerita. Maksudnya, seseorang yang mendengar sebuah informasi lalu tanpa pertimbangan dan pemikiran matang langsung menyampaikannya kepada orang lain. Ini termasuk sifat yang rendah, dan tidak pantas dimiliki oleh seorang penuntut ilmu, ahli ibadah, atau orang terhormat. Sifat seperti ini perlu dijauhi, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjadikan orang yang mudah bercerita sebagai pendusta. Hal ini disampaikan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam muqaddimah kitabnya.



    Terdapat pula beberapa perkataan dari para ulama, termasuk dua sahabat Nabi dan tiga ulama ahli hadits, yang menegaskan bahwa sifat ini tidak pantas. Dalam masyarakat, orang yang suka menyebarkan cerita sering diberi julukan yang bernada negatif, misalnya disebut “ember.” Julukan ini diberikan karena kebiasaannya menyebarkan cerita hingga dikenal sebagai orang yang tidak bisa dipercaya menjaga rahasia. Jika masyarakat saja memandang buruk sifat ini, bagaimana dengan pandangan para ulama?



    Para ulama sangat menjunjung tinggi kehormatan dan nama baik seseorang. Mereka memahami bahwa tindakan yang sekadar mubah sekalipun, jika dapat merusak kehormatan, harus dihindari. Imam Syafi’i Rahimahullah pernah mengatakan:




    “Barangsiapa tidak menghargai dirinya sendiri, maka ilmunya tidak akan bermanfaat.”




    Para ulama menyadari bahwa mereka menjadi teladan masyarakat. Kehilangan simpati masyarakat dapat merusak pengaruh dan manfaat ilmu mereka. Ini adalah sebuah kerugian. Oleh karena itu, mereka sangat berhati-hati dalam menjaga kehormatan. Imam Syafi’i rahimahullah juga pernah berkata:




    “Jika meminum air dingin dapat merusak kehormatanku, maka aku akan meminum air panas terus-menerus.”




    Beberapa tindakan yang sebenarnya mubah tetapi dianggap tidak pantas oleh para ulama di antaranya adalah menyelonjorkan kaki di tengah majelis ilmu. Hal ini menunjukkan betapa mereka sangat memperhatikan adab dan kehormatan diri agar tetap dihormati dan ilmunya terus bermanfaat bagi masyarakat.



    Salah satu contoh tindakan yang dapat merusak nama baik adalah berjalan sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Tindakan ini dianggap tidak baik. Contoh lain adalah seseorang yang tidak memperhatikan kebersihan badannya hingga mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Hal-hal semacam ini, meskipun secara hukum mubah, dapat menjadi bahan cemoohan masyarakat dan berpotensi merusak kehormatan seorang alim. Jika seorang alim memiliki kebiasaan yang dianggap buruk oleh masyarakat, meskipun hal tersebut tidak haram, dikhawatirkan ilmu yang dibawanya tidak lagi dihormati dan manfaatnya hilang.



    Larangan Gampang Menceritakan Berita


    Mon, 18 Nov 2024 - 1h 18min
Mostrar más episodios