Suara Museum Nasional

Kapak Beliung (Bahasa Indonesia)

Candrasa mungkin bisa disamakan dengan sabit atau parang. Kemungkinan candrasa digunakan sebagai lambang kebesaran atau alat upacara keagamaan.

Keris Gaja Dompak ini milik Si Singamaraja Dua Belas, raja hebat terakhir dan penjaga agama leluhur Batak. Keris ini adalah symbol keberanian dan identitas sebuah bangsa baru: Indonesia.

Kacip adalah alat pemecah atau pembelah buah pinang. Kacip berbentuk hewan mitologi singha bersayap.

Prasasti Porlak Dolok ini adalah tiang batu berpilin berkepala gajah. Prasasti ini ditemukan di Padang Lawas Utara, Sumatra Utara.

Keris Si Ginjei adalah pusaka Kerajaan Jambi sekaligus simbol kekuasaan rajanya. Keris ini kadang-kadang juga dikaitkan dengan legenda Rangkayo Hitam.

Prasasti Lobu Tua ditemukan di Barus, Sumatera Utara. Sebuah kota kecil, di tepian Samudra Hindia yang telah masyhur sejak abad kedua sebagai penghasil kamper atau kapur barus.

Pipisan (Bahasa Indonesia)

Patung perunggu ini bernama Kuwera, dewa kemakmuran dan kesejahteraan. Ini bisa tampak dari penampilan arca: bergelimang harta dengan enam kantung pundi-pundi dan salah satunya mengeluarkan permata yang ada di bawah kakinya.

Prasasti Warudu Kidul berbentuk lempeng tembaga yang berisi semacam berita acara keputusan pengadilan dari sekitar abad ke-10.

Kapak genggam adalah peralatan paling tua dan paling lama yang digunakan manusia dalam sejarah peradabannya.

Prasasti Siwagrha ini dikeluarkan Raja Dyah Lokapala dari Kerajaan Mataram Kuna pada abad kesembilan masehi.

Prasasti Sapu Angin ini berasal dari penghujung abad kedua belas saat Kertajaya, raja terakhir Kediri, di Jawa Timur, masih menjadi putra mahkota. Isinya menjelaskan hibah berupa pertapaan dari Kertajaya.

Prajnaparamita (Bahasa Indonesia)

Dia adalah Monalisa dari Jawa. Sikap tubuhnya memancarkan ketenangan. Senyum dan roman wajahnya memancarkan misteri yang menarik siapapun yang melihatnya.

Rumah tradisional orang biasa di Nias, sebuah pulau di tepian Samudera Hindia, dekat Sumatera. Rumah ini bisa bercerita hampir segala hal tentang dunia orang Nias. Tentang keteguhan, keberanian, daya hidup, keterampilan, dan kecakapan mereka.

Arca Avalokitswara (Bahasa Indonesia)

Benda ini diperkirakan berfungsi sebagai perhiasan, alat tukar, atau perlengkapan keagamaan. Dalam tradisi Islam, benda ini menyerupai tasbih.

Homo Mojokertensis (Bahasa Indonesia)

Fosil ini berasal dari individu Homo Soloensis nomor sembilan. Homo Soloensis adalah istilah buat fosil-fosil Homo erectus yang ditemukan di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo.

Homo Mojokortensis (Bahasa Indonesia)

Gading Stegodon (Bahasa Indonesia)

Kecil-kecil cabe rawit. Inilah dia perahu lete, yang berarti kecil, andalan para penjelajah asal madura.

Rumah betang atau rumah panjang adalah rumah tradisional masyarakat Dayak yang tinggal di kawasan hulu aliran sungai Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya, dan Katingan.

Prasasti ini menyebut nama Mpu Mada, mahapatih kesohor kerajaan Majapahit pada abad keempat belas. Prasasti ini menyebut upaya Gajah Mada mendirikan caitya atau bangunan suci bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha.

Singgasana Banjar (Bahasa Indonesia)

Candi Borobudur yang amat kesohor ini dikenal karena kecantikan, keanggunan, dan juga nilai historis yang terkandung di dalamnya.

Miniatur Rumah Batak Karo (Bahasa Indonesia)

Sebelum mengenal GPS, para penjelajah di abad ke-18 pada umumnya menggunakan sebuah alat navigasi manual untuk menentukan posisi kapal pada saat berlayar di laut lepas. Alat navigasi yang berukuran kecil ini dinamakan dengan teropong Sextant.

Masyarakat penutur Austronesia yang pertama kali menaklukan lautan Nusantara, dengan pengetahuan navigasi dan keahlian tentang kayu yang mumpuni, melakukan migrasi antara pulau dengan wahana sederhana yang saat ini kita kenal sebagai perahu bercadik.

Karena maraknya interaksi dengan dunia internasional, banyak para pedagang asing yang melakukan transaksi dengan membawa mata uang dari daerah masing-masing. Salah satunya para pedagang Tiongkok yang menggunakan koin kepeng.

Stempel ini milik Pangeran Penghulu Nata Agama Hamim al Qadhir Syara fil Balad al Palembang berasal dari abad ke-19. 

Sepeda-sepeda seperti ini pernah lalu-lalang di Batavia atau Jakarta pada masa Hindia Belanda. Masuk pertama kali, pada tengah abad kesembilan belas, sepeda seperti ini lebih popular karena dianggap lebih aman.

Pancuran air ini berasal dari reruntuhan taman air atau tamansari Sunyaragi Keraton Kasepuhan Cirebon. Sebagian sumber menyebut taman ini dibuat pada abad keenam belas. Tapi yang lain menyebut abad ketujuh belas.

Koleksi ini disebut sebagai perhalaan dalam bahasa Batak Karo. Mirip dengan kalender, tapi tanpa keterangan tahun.

Keramik, atau dalam Bahasa Yunaninya “keramikos” – memiliki peran yang amat penting dalam setiap lini kehidupan manusia.

Sebelum mengenal tenun, kain kulit kayu sempat menjadi fesyen yang tidak tergantinkan sejak masa prasejarah hingga awal-awal masehi.

Ledakan kreativitas manusia prasejarah di masa berburu dan meramu tentunya bukan hanya diukur dari temuan lukisan di dalam gua saja, tapi juga dilihat dari kemampuan membuat alat dari bahan-bahan yang sederhana – salah satunya adalah tulang dan tanduk fauna hasil buruan.

Busana kain kulit kayu ini, Lemba namanya, punya fungsi yang lebih dari sekedar pakaian sehari-hari. Melainkan juga untuk menjalankan ritual keagamaan, ritus peralihan, maupun upacara adat pernikahan.

Selain menambah kepercayaan diri, ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu ini juga menjadi simbol kebesaran dan penanda bagi mereka yang dianggap mampu mengayomi orang-orang disekitarnya.

Tembikar ini berasal dari situs Buni, dekat Bekasi Jawa Barat. Dari situs ini terdapat dua jenis tembikar. Para ahli memperkirakan tembikar-tembikar ini berasal dari abad kedua hingga kelima Masehi.

Topeng ini berasal dari Cirebon, kota dengan sejarah panjang di pesisir utara Jawa. Terbuat dari kayu lunak, topeng ini digunakan dalam tarian sakral yang disebut tari topeng.

Batu Gajah ini berasal dari dataran tinggi Pasemah di Sumatera Selatan, kira-kira berasal dari dua ribu lima ratus hingga seribu lima ratus sebelum masehi.

Diorama ini merupakan gambaran kehidupan manusia prasejarah khususnya di wilayah Sangiran sekitar tujuh ratus hingga seratus ribu tahun yang lalu.

Kyokkenmodinger atau sampah dapur adalah bukit atau tumpukan sisa makanan berupa cangkang kerang yang terakumulasi dalam jangka waktu yang lama. Di nusantara tumpukan ini ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera dan Aceh Timur dengan ketinggian hingga tujuh meter.

Keris Ardawalika atau Keris. Puputan Klungkung ini dipercaya sebagai senjata terakhir yang digenggam Dewa Agung Jambe, raja terakhir Klungkung dalam peristiwa Puputan Klungkung.

Bagi masyarakat Papua di pedalaman, koteka bukan sekadar penutup alat kelamin, tetapi bagian dari identitas mereka—bahkan hingga hari ini. Pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, harus mengenakan koteka yang berukuran besar dan panjang.

Pelindung kepala dan pelindung dada ini mirip dengan baju besi yang dipakai prajurit-prajurit Eropa pada Abad Pertengahan.

Manusia prasejarah ini dikuburkan langsung setelah kematiannya, sekira dua ribu tahun yang lalu. Keluarga yang ditinggalkannya meletakkan senjata logam di sebelah kanan sebelum menguruknya dengan tanah.

Tandu emas dengan kursi yang disangga empat singa ini merupakan satu dari ratusan harta pusaka milik dua puri Kerajaan Badung, Puri Denpasar dan Puri Pemecutan yang dijarah Belanda dalam peristiwa Puputan Badung pada 1906.

Timbangan Sultan Banjar dulunya digunakan untuk mengukur besaran pajak pertanian di wilayah Kesultanan Banjar. Konon, cara menggunakannya dengan membandingkan berat badan raja dengan bobot produk hasil pertanian.

Patung tabib torso ini lazim disebut dengan gaper. Gaper adalah patung batu atau kayu yang menggambarkan figure kepala orang Muzelman alias Muslim, Moor, dan atau Afrika Utara.

Keberadaan fosil kudanil ini adalah bukti akan kehadiran hewan yang saat ini hanya hidup di alam Afrika. Fosil hewan yang sempat hidup dan mengebara di tanah jawa pada periode pleistosen, atau sekitar 0,8 – 1 juta tahun yang lalu, ini berasal dari Situs Sangiran.

Nisan ini adalah penanda kubur Sultanah Nahrisyah, raja perempuan pertama di Samudera Pasai, Aceh yang berkuasa memerintah lebih dari sepuluh tahun.

Prasasti ini ditemukan di tiga lokasi terpisah, di Malang, kota sejuk di Jawa Timur. Isinya menerangkan kerajaan Hindu pertama di Jawa Timur dengan raja bergelar Gajayana pada abad kedelapan beserta silsilahnya.

Rencong is the traditional hand weapon of Aceh. rencong, to the Acehnese, is not merely a weapon. It is a symbol of bravery, fortitude, honor, and heroism. No wonder that nowadays rencong is seen as a powerful heirloom, considered to bestow great powers to its possessor.

This tombstone is the marker for the grave of Sultanah Nahrisyah, the first female monarch in Samudera Pasai, who reigned for more than ten years. The tombstone was made out of marble, adorned by beautiful Kufic style calligraphy, imported directly from Cambay, Gujarat.

These axes have helped our ancestors in cultivating the land and producing their own food. The smooth and beautiful surface led experts to believe that these adzes were used as a medium of exchange, or in religious rituals.

This is a kacip, a utensil for breaking or cutting areca nuts. Kacip is one part of a complete set of tools and ingredients for menginang. Therefore, the pekinangan set, including the kacip, are usually very well-crafted, including this one, which is shaped like a mythological lion with wings.

Keris Gaja Dompak belonged to Si Singamangaraja the Twelfth, the last great king and guardian of the ancient religion of the Batak people.

You may think of a candrasa as a sickle or a machete. But, seeing these decorative images on its surface, and with little to no signs of wear, this candrasa was possibly used as a symbol of power or in religious rituals.

As inseparable as table and chair, pipisan and gandik have worked together to process natural ingredients since prehistorical times. This is the food processor of the Stone Age.

The Lobu Tua inscription was discovered in Barus, North Sumatra, a small town in the coast of the Indian Ocean, well-known since the second century as the producer of camphor.

The Si Ginjei keris is a relic of the Kingdom of Jambi, the symbol of the king’s power. This is the keris that was held by Sultan Thaha Saifuddin when he died in battle against the Dutch colonial forces, in April 1904.

The Porlak Dolok inscription is a twisted pillar made of stone, topped with a likeness of an elephant’s head. It was discovered in Padang Lawas Utara, North Sumatra. It was written in Old Malay and Tamil, using the Old Sumatra and Tamil alphabets

This piece of jewellery, worn on the neck and chest, comes from the Old Mataram Kingdom in the ninth century. By these beautiful decorations, we can assume that the owner was of noble stature. They wore jewellery to demonstrate their social status, not only because it was pleasing to the eye.

This inscription was found in three separate locations in Malang, East Java. It tells of the first Hindu kingdom in East Java, and its king, Gajayana, who reigned during the eighth century.

This is a bronze statue of Kuwera, the god of wealth and prosperity. Fittingly, he is depicted as adorned with treasures. Under his feet, we see six money pouches, jewels peeking out of one of them.

The Warudu Kidul inscription is a copper plate containing some kind of a court decree, stating a verdict on a case that may have been what everybody was talking about in Old Mataram, around the tenth century.

Prasasti Kalasan berasal dari abad kedelapan. Berisi permohonan keluarga Sailendra kepada Maharaja Panangkaram Mahārāja Dyaḥ Pañcapaṇa Kariyāna Paṇaṃkaraṇaḥ untuk membuat bangunan suci untuk pemujaan terhadap Dewi Tara, dewi suci dalam tradisi agama Buddha.

The hand axe is the oldest and longest-used tool in the history of human civilization. For millions of years, prehistoric humans have used the hand axe for hunting, digging, and cutting meat, to ground food items, or to survive against attacks.

Behold, the Monalisa of Java. There is serenity in her pose. There is mystery in her smile and her expression, enticing anyone who comes to take a look. This may be the standard of female beauty of its age. However, this statue is about more than just beauty.

The Siwagrha inscription was issued by King Dyah Lokapala of the Old Mataram Kingdom in the ninth century, to record the official opening ceremony of a temple compound dedicated to the god Shiva.

The Sapu Angin inscription comes from the late twelfth century, when Kertajaya, the last king of Kediri in East Java, was still a crown prince. It tells of a granting of a hermitage by Kertajaya.

The Kalasan inscription comes from the eighth century. It tells of a request from the House of Sailendra to the Maharaja Dyah Pancapana Kariyana Panamkaranah, to build a holy place of worship to the Goddess Tara, a deity in the Buddhism tradition.

This is a miniature of the Omo Hada, the traditional dwelling of the common folks in Nias, an island located close to Sumatra, at the edge of the Indian Ocean. This house tells you almost everything about the world of the Nias people.

Keris Si Ginjei adalah pusaka Kerajaan Jambi sekaligus simbol kekuasaan rajanya. Keris ini kadang-kadang juga dikaitkan dengan legenda Rangkayo Hitam.Keris Si Ginjei adalah pusaka Kerajaan Jambi sekaligus simbol kekuasaan rajanya. Keris ini kadang-kadang juga dikaitkan dengan legenda Rangkayo Hitam.

This statue of Avalokitesvara, found in Central Java, is more than a thousand years old. Avalokitesvara is a significant figure in Buddhism. He is the personification of affection and compassion, and is still worshipped by millions of people for his ability to offer salvation from pain and suffering.

The origins or the function of this string of beads are still unknown. However, as we can see, it is made of gold, and so we can conclude that this was a treasured and essential object. Perhaps it was a piece of jewellery, a medium of exchange, or maybe it was a religious object.

This is a replica of a fossil, of a skull belonging to a young prehistoric child from Mojokerto, East Java. The fossil is thought to be a Homo erectus. Although still very young, this skull is, according to experts, the oldest fossil of a juvenile Homo erectus found in Indonesia, or possibly even in the world.

This is the fossil of Homo soloensis number nine. Homo soloensis is the name given to fossils of Homo erectus found along the Bengawan Solo River. In total, there have been 14 skulls found in the sites of Ngandong (in Blora), Sambung Macan (in Sragen), and Ngawi, between 1931 and 1933.

This hominid from Wajak was a Homo sapiens, modern humans such as us. She was a female, and quite tall, for a modern human. With a height of around 170 cm, this lady could look down on some catwalk models.

This fossil, of a tusk of the stegodon, a kind of prehistoric elephant was found in Sangiran, with an age estimated to be around 150 thousand to 700 thousand years old.

This is a fossil of the upper jaw of an elephant named Elephas namadicus, who came from around 100 thousand to 700 thousand years ago. This kind of fossil is widely found around Sangiran, Central Java.

Janggolan means “transport” in Madura, the home of the people who used this boat. In the nineteenth century, Madurese traders relied on these 200-ton boats to travel along the coastline and cross the open seas.

This is the Lete, a small yet sturdy boat used by the explorers of Madura. This type of boat was widely used in the nineteenth century.

Betang house, or longhouse, is the traditional dwelling of the Dayak people living in the upstream areas of the Kapuas, Kahayan, Barito, Mentaya, and Katingan rivers.

This inscription mentions Mpu Mada, the famed mahapatih or prime minister of the Kingdom of Majapahit in the fourteenth century. Experts consider the Gajah Mada inscription as the best example of Majapahit-era inscriptions, as it was carved on a smooth surface, and the letters are clearly legible.

From atop this gilded wooden throne, ruled the monarch of the Sultanate of Banjarmasin. This Islamic kingdom in South Kalimantan lasted for almost four centuries, from 1526 to 1860.

This is a miniature of the most well-known temple in the world: the Borobudur, famed for its beauty, grace, and immense historical value. Built by the hands of silpins, the Old Javanese term for temple craftsmen, Borobudur was constructed on top of a hill between the Rivers Elo and Progo.

To the Batak Karo people, Siwaluh Jabu, their traditional house, is more than just a place to live. These houses are built in a very precise way, using sophisticated local wisdom.

Teropong Sextant (English)

Outrigger, or "cadik" in Bahasa Indonesia, may be considered as one of the success stories in adapting to life in the Indonesian archipelago.

Majapahit heavily interacted with the international community. Many foreign traders came looking for a good deal; each of them brought their own currency. The Chinese traders, for example, brought coins known as kepeng.

This is a stamp from the nineteenth century that belonged to Pangeran Penghulu Nata Agama Hamim al Qadhir Syara fil Balad al Palembang. Penghulu Agama, which literally means religious leader, was the highest-ranking religious official in the royal courts, and so the sultanate supplied them with their own stamps.

This type of bicycle was a common sight in the streets of Batavia, or Jakarta at the time of the Dutch East Indies. When it was first introduced in the middle of the nineteenth century, it became highly popular as it was considered to be a safer model.

This waterspout comes from the ruins of the Tamansari Sunyaragi, the water garden in the royal palace of Keraton Kasepuhan Cirebon. The spout is made of bronze.

This is a parhalaan, used by the Batak Karo people as a calendar, only without the year number. The datuks, or the elders, used parhalaan to determine the good days or bad days to perform various rituals.

Ceramic, which comes from the Greek word “keramikos”, plays an essential role in our daily life.